Jumat, 30 Desember 2011

 ih... unyunya...

Entah kenapa, tiba-tiba aku ingin membahas soal pengemis. Bukan bermaksud mendiskriminasikan kaum pengemis. Cuman ingin bernalar dengan mereka. Pembaca tentu tau banyak sekali pengemis di sekitar kita. Mulai dari yang ga bisa bicara sampai pura-pura ga bisa bicara. Dari muter kompleks atau di pinggir jalan. sampai yang ga bisa apa-apa atau memanipulasi pikiran kita agar berpikir bahwa pengemis itu ga bisa apa-apa.
Contoh dari memanipulasi pikiran kita yang sering aku dijumpai adalah
  • dengan berjalan ngesot. Mungkin ingin menimbulkan efek dramatis seperti film horror atau memang mengikuti program pemerintah dengan membuat jalanan bersih.
  • efek darah dan perban. Ini lebih dramatis lagi. Tapi si pengemis tidak tau bahwa membeli perban itu butuh uang. Maka asumsinya adalah si pengemis punya uang buat beli perban tapi bilang “saya belum makan 3 hari om…” oke deh, kenapa kamu beli perban daripada makanan? Itu absurd banget.
  • Efek lalat combo dengan darah mengering. Kebetulan temen SMA ku adalah pengamen jalanan. Dia cerita sendiri kalau efek lalat dibuat dengan memberikan tape pada bagian-bagian tertentu pada badannya. Dan darahnya yang mengering adalah sirup. Makanya kita sering menjumpai pengemis yang kulit sangat kering. Padahal itu air gula atau sirup yang mongering.

Tapi baru kemaren aku liat pengemis professional kawan. Bukan, bukan pengemis yang mengaku dari yayasan tertentu. Ini lebih aneh lagi.
Kemaren dulu panas melanda semarang dengan gilanya. Mungkin kalo iblis lagi iseng ke semarang dia bakal memilih untuk balik ke neraka saking ga tahannya. Karena panas menimbulkan dehidrasi maka aku beli deh minuman ke suatu mini market. Cuma ada 2 mini market yang aku tau. Kalo bukan Alfamart ya Indomaret. Tapi ada karakteristik yang pasti dari kedua mini market itu :
  • dua-duanya bener-bener tumpang tindih. Dimana ada alfamart maka di deket-deket situ pasti ada indomaret begitu juga sebaliknya. Mereka bagai romeo dan Juliet, bagai jin dan jun, bagai bokep dan sabun. Tak bisa dipisahkan.
  • Dua-duanya menjamur. Mereka lebih gila dari Bank BRI yang tiap kecamatan ada. Mereka tiap belokan ada! Bahkan bandung bondowoso yang bikin 1000 candi kalo hidup jaman sekarang bakal kaget. “lho? Minimarket lagi? Kayaknya di belokan sini kemaren belom ada…”
Karena yang paling deket adalah Alfamart maka aku masuk ke mini market itu. Dan taukah kalian? Aku masuk ke mini market itu tak sendiri. Dibelakangku ada ibu-ibu dengan baju compang camping Dengan baju jawa seperti mbok jamu dan dengan bakul nasi diiket ke belakang punggung ala pengemis. Tapi atas nama positive tinking aku berpikir kalau ibu itu bukan pengemis, cuman low profile.
Karena penasaran, aku buntuti si ibu. Tapi karena misi ini ga boleh ketahuan, maka aku harus diam-diam. Kamuflasenya adalah melihat-lihat benda yang ada di deket si ibu.
Si ibu menuju etalase minuman, aku pun begitu. Sekalian ambil minuman pilihan, yaitu susu. Tapi aku bingung mau yang kanan apa yang kiri. Setelah berargumen dengan diri sendiri dan meyakinkan diri bahwa yang kiri lebih besar, aku ambil yang kanan. Entah kenapa selalu seperti itu, ataukan karena cara pegangnya? #eh
Si ibu pindah etalase, aku ikutin tapi dengan sikap cool, yang mana akan sangat gampang sekali aku Nampak cool, secara badanku sudah mirip cool…kas.
Si ibu mengambil benda yang diinginkan. Aku dengan PDnya ambil barang yang sama, yaitu….. pembalut. Ah! Oke. Ehmm.. Si ibu melihat dengan tatapan seperti melihat kecoa. Jijik-jijik gimana gitu. Aku panik dalam hati. Mikir cak, mikir!! Keburu malu! Akhirnya argument yang keluar dari mulut adalah “saya pikir roti bu.. ternyata roti kempit…” aku dengan elegannya pergi tanpa pamit. Mukul-mukul kepala sendiri, kenapa bisa bego kayak gini. KENAPA!! Karena malu ga ketulungan. Aku akhirnya mengakhiri misi penasaran ini dan menuju kasir. Ga disangka si ibu ternyata juga pergi ke kasir. Aku ga berani liat muka si ibu saking malunya. Langsung bayar langsung ambil susu dan langsung keluar.
Sebelum keluar aku sempet denger si ibu bilang satu kalimat ke mbak kasir, aku kaget ga ketulungan. Positive tinkingku ilang semua, satu kalimat yang keluar dari mulut si ibu adalah
“nok…” nok disini artinya bukan nanok, masak iya itu mbak cantik namanya nanok. Ga keren aja.
“nok… sak iklas e nok…” (nok… seiklasnya nok…) dengan pose sedikit membungkuk. Tangan kanan di angkat rata dengan dada dan telapak tangan menghadap ke atas. Pose pengemis pada umumnya.
si ibu beneran ngemis!!! Gila! Ngemis di dalam mini market merupakan modus yang baru aku tau!
penghasilan ni pengemis lebih banyak daripada aku yang S1. apa ngemis aja yah? ups
Sebegitukah malasnya seseorang sampai mengemis pun menjadi profesi. Ketika kita melihat di TV para gelandangan dan pengemis (GEPENG) di tangkap, mereka bakal teriak dan berontak. Kenapa? Karena mereka “mencintai” profesi itu. Menyalahkan berbagai kalangan termasuk pemerintah yang tidak memperhatikan mereka. Padahal membawa mereka adalah salah satu cara pemerintah dalam mengurangi kemiskinan.
Banyak orang yang bilang bahwa angka kemiskinan di Indonesia itu naik. Saya pikir angka kemiskinan Indonesia itu menurun. Menurun ke anak cucu. Karena profesi itu lumayan menjanjikan. Mari kita menalar.

Aku sendiri pernah secara iseng (karena emang ga ada kegiatan) nunggu di sekitar jalan Ada banyumanik Semarang, jadi kalo terkesan omong saja ya ga mungkin.
Setiap 1 menit lampu hijau selalu ada 1 menit lampu merah.
Setiap lampu merah si bapak pengemis mendapatkan minimal rp. 500
Bapak itu mengemis selama 10 jam, 1 jam istirahat. Maka aktifnya adalah 9 jam. (ini beneran tanya temen yang ngamen)
Maka hasilnya :
500 tiap 2 menit selama 9 jam = 135.000 setiap hari
Jika dia 5 hari kerja maka 1 bulan ada 22 hari. 135.000 x 22 = 2.970.000
Aye! PNS golongan pemula yang ga korupsi aja kalah! Aku yang mantan pegawai bank aja kalah! Karena begitu menjanjikannya profesi ini, maka orang cenderung memilih mengemis sebagai profesi.

 kalo yang ngemis secantik ini ya tergoda ya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar